Patih Barat Ketigo begitulah masyarakat Tuban dan sekitarnya menyebut sang patih sakti mandraguna yang sangat tersohor di kerajaan majapahit kala itu. Terkenal dengan Patih Barat Ketigo karena sang patih memiliki ilmu Barat Ketigo, yakni sebuah Ilmu Kesaktian yang mampu terbang atau mendatangkan Angin kencang seperti di Musim Kemarau ( Bahasa Jawa, Barat yang artinya Angin, dan Ketigo yang artinya Musim Kemarau ).
Sebuah makam yang memiliki Panjang sekitar 6 meter di pemakaman desa Prunggahan Wetan Kecamatan Semanding Kabupaten ini ini dipercaya sebagai makam Sang Patih Gajah Mada yang sangat terkenal dengan kedigdayaannya di seluruh penjuru Nusantara ini kemudian makan tersebut lebih dikenal dengan sebutan makam panjang.
Cerita ini bermula dari perjalanan spiritual seorang Putra Mahkota yang bernama Pangeran Sudimoro atau yang memiliki nama lain Pangeran Kusumawardhani yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Kidul, merupakan putra mahkota kerajaan Majapahit yang tidak ingin menjadi putra mahkota kerajaan, meninggalkan kerajaan Majapahit dan berguru mencari ilmu. Ia pergi ke Tuban mencari Guru Ilmu Syariat , Tarekat, Hakikat, dan Marifat, sesuai dengan petunjuk Syekh Jumadil Kubra, beliau disuruh menemui Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejagung). Setelah sampai di Tuban, dan bertemu dengan Syekh Abdullah As’ari (Sunan Bejagung), kemudian Pangeran Sudimoro mengaji kepada beliau hingga menjadi orang yang Alim.
Ketika pangeran Sudimoro masih mengaji di Kasunanan Bejagung, Ayahanda Prabu Hayam wuruk (Prabu Brawijaya IV) berusaha mencarinya. Setelah mengetahui bahwa putranya berada di Padepokan Sunan Bejagung Tuban untuk mengaji, maka Prabu Brawijaya IV memerintahkan Patihnya bernama Gajah Mada dengan bala tentara berangkat ke Tuban untuk mengajak Putra Mahkota (Pangeran Sudimoro) pulang ke kerajaan Majapahit.
Berita tersebut didengar oleh Pangeran Sudimoro. Beliau menghadap kepada Sunan Bejagung meminta perlindungan dan bantuan kepada Sunan Bejagung untuk menolak keinginan Sang Prabu Hayam Wuruk. Sebab Pangeran Sudimoro ingin tetap menekuni ilmu Agama Islam. Kehendak Pangeran Sudimoro tersebut dikabulkan oleh Sunan Bejagung.
Selanjutnya Sunan Bejagung menggaris tanah mengitari Padepokan Kasunanan Bejagung, Agar tentara Majapahit tidak bisa masuk Kasunanan Bejagung. Ketika mahapatih Gajah Mada yang tersohor dengan ilmu Barat Ketiga dan bala tentara Majapahit hendak menjemput pangeran Sudimoro di kasunanan Bejagung. Ternyata tentara Majapahit tidak bisa masuk ke kasunanan Bejagung. begitu juga dengan mahapatih Gajah mada yang terkenal dengan ilmunya Barat Ketiga (ilmu kecepatan angin kemarau). Garisan tanah yang dibuat oleh Sunan Bejagung Lor tersebut dikenal dengan nama Siti Garet. Masyarakat sekitar memandang bahwa Siti Garet merupakan fenomena gaib. Tidak semua orang yang dapat melihatnya. Selain itu, Siti Garet merupakan tempat untuk bersembunyi para pejuang ketika dikejar-kejar tentara Belanda. Kalau pejuang masuk kasunanan tersebut, para tentara Belanda tidak bisa ikut masuk. Karena pandangannya terhalang oleh kabut. Selain itu, adanya Siti Garet juga mempengaruhi pandangan para pejabat negara dan kerajaan. Apabila pejabat negara telah lancang masuk ke Kasunanan Bejagung – memiliki niat yang tidak baik, maka pejabat negara tersebut dalam waktu dekat akan lengser dari jabatannya. Sampai sekarang pandangan tersebut masih ada dalam pandangan sebagian masyarakat dan para pejabat negara di Indonesia. Semua itu dilandasi dengan adanya pasukan dan pejabat kerajaan Majapahit yang tidak dapat masuk Kasunanan ketika akan menjemput pangeran Sudimoro putra Mahkota Majapahit.
Pasukan-pasukan Majapahit dan bala tentara gajah akhirnya terhenti di sebelah selatan Kasunanan. Salah seorang santri melapor kepada Sunan bahwa di sebelah selatan Kasunanan Bejagung banyak pasukan Gajah dari Majapahit. Sunan mengatakan: “itu tidak gajah tetapi batu”. Seketika itu semua gajah berubah menjadi batu. Sampai sekarang, tempat berhentinya pasukan gajah tersebut dikenal dengan sebutan Watu Gajah (Batu Gajah). Letaknya di sebelah Barat Laut kantor Kecamatan Semanding.
Pangeran Sudimoro yang terkenal rajin mengaji dan alim, kemudian diberikan gelar Pangeran Pengulu/Syekh Hasyim Alamuddin (sekarang dikenal dengan sebutan Sunan Bejagung Kidul) oleh Syekh Abdullah As’ari. Akhirnya, diambil menantu oleh Syekh Abdullah As’ari dan ditetapkan menjadi penerus di Kasunanan Bejagung. Semenatara Syekh Abdullah As’ari Uzlah (berpindah tempat) di sebelah utara Kasunanan dan mendapat sebutan Sunan Bejagung Lor.
IKAN DODOK DARI DAUN WARU
Setelah seluruh pasukan gajah dari Majapahit menjadi batu, para pasukan Majapahit kembali dan Lapor kepada Prabu Hayamwuruk. Bahwa semua pasukan Gajah dari Kerajaan Majapahit menjadi batu di Tuban. Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada Patih Gajah Mada Untuk menguji sampai sejauh mana ilmu Sunan Bejagung.
Patih Gajah Mada berangkat lagi tanpa bala tentara menuju pesisir utara Kadipaten Tuban, ia menyamar dan menggunakan nama Barat Ketiga (suatu nama ilmu tinggi yang dimilikinya). Ia mengaduk aduk air laut Tuban sampai keruh dan berpura-pura mencari ikan Dodok. Setelah diketahui oleh Sunan Bejagung, Barat Ketigo ditanya oleh Sunan Bejagung, jawabannya Barat Ketigo sedang mencari ikan dodok, karena adiknya hamil dan ngidam ingin makan ikan Dodok.
Akhirnya Sunan Bejagung mengambil lontar untuk dibuat timba. Barat Ketigo diperintahkan mengambil daun waru. Setelah timba dari lontar tersebut diisi dengan air dan daun waru dimasukkan kedalam timba, seketika itu daun waru menjadi ikan Dodok. Kejadian ini diingat oleh Masyarakat Bejagung. Bahwa sampai sekarang apabila mengadakan kenduri atau sedang bersih desa selalu menggunakan lauk ikan Dodok.
MOJO AGUNG
Barat Ketiga ingin menguji lagi Kesaktian Sunan Bejagung Lor. Ia pergi ke perdikan Bejagung. Setelah berada di ladang Sunan Bejagung, ia menggoyang pohon Kelapa. Sunan Bejagung bertanya, “untuk apa menggoyangkan pohon Kelapa?” Barat Ketigo menjawab bahwa ia haus. Sunan Bejagung berkata, “Kalau digoyang keras yang muda ikut jatuh dan tidak bisa dimanfaatkan lagi buahnya.” Akhirnya Sunan Bejagung mengambil buah kelapa dengan cara merebahkan pohon kelapa dengan cangkul. Barat Ketigo dengan mudah bisa mengambil buah kelapa yang sudah tua, tanpa merusak kelapa yang masih muda. Kemudian pohon kelapa dikembalikan tegak berdiri seperti semula.
Ia kagum atas kesaktian Sunan Bejagung. Tetapi ia masih belum puas, setelah ia meminum air kelapa, ia pura-pura masih haus. Ingin masih ingin minum air lagi. Setelah kepura-puraannya itu disampaikan kepada Sunan Bejagung, kemudian Kanjeng Sunan berkata,“Kalau demikian, tunggu di sini, saya ambilkan air.” Tidak lama kemudia Sunan Bejagung mengambil air, dimasukkan ke dalam buah Maja kecil (disebut Mojo berduri).
Melihat ulah Sunan Bejagung Lor yang aneh tersebut, Barat Ketigo tertawa karena air yang sedikit itu dimasukkan ke dalam buah Maja yang dibelah menjadi dua bagian. Ia menganggap mana mungkin air dalam buah Maja itu dapat menghilangkan rasa haus. Ternyata setelah air itu diminum, air yang ada di dalam Maja tersebut masih utuh dan tidak habis-habis. Sehingga buah Maja tersebut disebut Mojo Agung. Kemudian dari peristiwa tutur mulut ke mulut pada akhirnya berubah menjadi Beja Agung, kemudian menjadi Bejagung dan dijadikan nama desa Bejagung sampai sekarang. Selain itu juga dipakai sebagai sebutan nama lain dari syekh Abdullah As’ari.
Pada Akhirnya sang patih merasa kalah sakti dan menyatakan diri untuk menjadi Santri Kanjeng Sunan Bejagung (Syekh Abdullah As’ari). Sampai meninggal dunia ia tetap menjadi Santri Kanjeng Sunan Bejagung Lor. Setelah ia wafat dimakamkan tak jauh dari Kasunanan Bejagung Kidul tepatnya di Desa Prunggahan Wetan, dan sampai sekarang terkenal dengan sebutan Makam Panjang atau Makam Barat Ketigo.
Sumber : prunggahanwetan-semanding.desa.id
Paket Fieldtrip dan Outbound Tuban terbaik 085645264827